Untuk menelusuri Hari jadi Kabupaten Pati, Bupati KDH Tk. II Pati membentuk
Tim Penyusun dan penelitian Hari Jadi Kabupaten Pati dengan Surat Keputusan No.
003.3/869 tanggal 19 November 1992.
Tim Penyusun dan Penelitian bersepakat bahwa untuk penelitian Hari Jadi
Kabupaten Pati berpangkal tolak dari beberapa gambar yang terdapat pada lambang
Daerah Kabupaten Pati yang sudah disahkan dalam Peraturan Daerah No.1 Th. 1971.
Gambar yang dimaksud yang berupa:
“ KERIS RAMBUT PINUTUNG DAN KULUK KANIGARA”
Menurut cerita rakyat dari mulut ke mulut yang terdapat juga pada kitab babad
Pati dan kitab babad lainnya dua pusaka itu merupakan lambang kekuasaan dan
kekuatan yang juga merupakan simbol kesatuan dan persatuan.
Barang siapa yang memiliki dua pusaka tersebut, akan mampu menguasai dan
berkuasa memerintah di pulau jawa. Adapun yang memiliki dua pusaka tersebut
adalah Raden Sukmayana penggede Majasemi andalan Kadipaten Carangsoko.
Menjelang akhir abad ke XIII sekitar tahun 1290 Masehi di pulau jawa fakum
penguasa pemerintahan yang berwibawa. Kerjaan Pajajaran mulai runtuh, Kerajaan
Singosari surut, sedang Kerajaan Majapahit belum berdiri.
Di pantai utara Jawa Tengah sekitar Gunung Muria bagian timur muncul Penguasa
lokal yang memangkat dirinya sebagai Adipati, wilayah kekuasaannya disebut
Kadipaten.
Ada dua pusaka lokal di wilayah itu, yaitu:
1. Penguasa Kadipaten Paranggaruda, Adipatinya bernama “Yudhapati”. Wilayah
kekuasaannya meliputi sungai Juwana ke selatan, sampai Pegunungan Gamping Utara
berbatasan dengan wilayah Kabupaten Grobogan. Mempunyai seorang putra bernama
Raden Jasari.
2. Penguasa Kadipaten Carangsoko, Adipatinya bernama “Puspa Andungjaya”,
wilayah kekuasaannya meliputi semua sungai Juwana sampai Pantai Utara Jawa
Tengah bagian Timur. Adipati Carangsoko mempunyai seorang putri bernama Rara
Rayungwulan.
Kedua Kadipaten tersebut hidup rukun dan damai, saling menghormati dan saling
menghargai untuk melestariakan kerukunan dan memperkuat tali persaudaraan itu
kedua Adipati tersebut bersepakat untuk mengawinkan putra putrinya itu. Utusan
adipati Paranggaruda untuk meminang Rara Rayungwulan telah diterima, namun
calon mempelai putri minta bebana agar pada saat pahargyan boja wiwaha daup
(resepsi) dimeriahkan dengan pagelaran wayang dengan dalang kondang yang
bernama “Sapanyana”.
Untuk memenuhi beban itu, Adipati Paranggaruda menugaskan panggede kemaguhan
yang bernama Yuyurumpung agul-agul Paranggaruda sebelum melaksanakan tugasnya
lebih dulu Yuyurumpung berniat melumpuhkan kewibawaan Kadipaten Carangsoko
dengan cara menguasai dua pusaka milik Sukmayana di Majasemi. Dengan bantuan
“Sondong Majeruk” kedua pusaka itu dapat dicurinya namun sebelum dua pusaka itu
diserahkan pada Yuyurumpung, dapat kembali oleh Sondong Makerti dari Wedari.
Bahkan Sondong Majeruk tewas dalam perkelahian dengan Sondong Makerti. Dan
pusaka itu diserahkan kembali kepada Raden Sukmayana. Usaha Yuyurumpung untuk menguasai
dan memiliki dua pusaka itu gagal.
Walaupun demikian Yuyurumpung tetap melanjutkan tugas untuk mencari dalang
Sapanyana agar perkawinan putra Adipati Paranggaruda tidak mengalami kegagalan.
Pada malam pahargyan bojana wiwaha (resepsi) perkawinan dapat diselenggarakan
di Kadipaten Carangsoka dengan Pagelaran Wayang oleh Ki Dalang Sapanyana. Di
luar dugaan pahargyan baru saja dimulai, tiba-tiba mempelai putri meninggalkan
kursi pelaminan menuju ke panggung dan seterusnya melarikan diri bersama Dalang
Sapanyana. Pahargyan pekawinan antara “Raden Jasari” dan “Rara Rayungwulan”
gagal total. Adipati Yudhapati merasa dipermalukan, Emosi tak dapat
dikendalikan lagi. Sekaligus menyatakan permusuhan terhadap Adipati Carangsoka.
Dan peperangan tak dapat dielakkan. Raden Sukmayana dari Kadipaten Carangsoka
memimpin prajurit Carangsoka, mengalami kekalahan dan kemudian wafat. Raden
Kembangjaya (adik ipar Raden Sukmayana) menerusakan peperangan. Dengan dibantu
oleh Dalang Sapanyana, dan menggunakan kedua pusaka itu dapat menghancurkan
prajurit Peranggaruda. Adipati Paranggaruda, Yudhapati gugur dalam palagan
membela kehormatan dan gengsinya.
Oleh Adipati Carangsoka, karena jasanya Raden Kembangjaya dikawinkan dengan
Rara Rayungwulan kemudian diangkat menjadi pengganti Carangsoka. Sedang dalang
Sapanyana diangkat menjadi patihnya dengan nama “Singasari”.
Untuk mengatur pemerintahan yang semakin wilayahnya kebagian selatan, Adipati
Raden Kembangjaya memindahkan pusat pemerintahannya dari Carangsoka ke Desa
Kemiri dengan mengganti nama “Kadipaten Pesantenan”. Dengan gelar “Adipati
Jayakusuma” di pesantenan. Adipati Jayakusuma hanya mempunyai seorang putra
tunggal yaitu “Raden Tambra”. Setelah ayahnya wafat, Raden Tambra diangkat
menjadi Adipati Pesantenan dengan gelar “Adipati Tambranegara”.
Dalam menjalankan tugas pemerintahan Adipati Tambranegara bertindak arif dan
bijaksana menjadi Songsong Agung yang sangat memperhatikan nasib Rakyatnya,
serta menjadi pengayom bagi hamba sahayanya. Kehidupan rakyatnya penuh dengan
kerukunan, kedamaian, ketenangan, dan kesejahteraannya semakin meningkat. Untuk
dapat mengembangkan pembangunan dan memajukan pemerintahan di wilayahnya
Adipati Raden Tambranegara memindahkan pusat pemerintahan Kadipaten Pesantenan
yang semula berada di desa Kemiri munuju kearah barat yaitu, di desa
Kaborongan, dan mengganti nama Kadipaten Pesantenan menjadi Kadipaten Pati.
Dalam prasasti Tuhannaru, yang diketemukan di desa Sidateka, wilayah Kabupaten
Majakerta yang berada di Musium Trowulan. Prasasti itu terdapat pada delapan
Lempengan Baja, dan bertuliskan huruf Jawa kuna. Pada lempengan yang ke empat
antara lain berbunyi bahwa: ………………………………….Raja Majapahit, Raden Jayanegara
menambah gelarnya dengan ABHISEKA WIRALANDA GOPALA pada 13 Desember 1323. Dengan
patihnya yang setia dan berani bernama DYAH MALAYUDA dengan gelar RAKAYI. Pada
saat pengumuman itu bersamaan juga dengan pisuwanan agung dari Kadipaten pantai
utara Jawa Tengah bagian Timur termasuk Raden Tambranegara berada di dalamnya.
Raja Jayanegara dari Majapahit mengakui wilayah kekuasaan para Adipati itu,
dengan memberi status sebagai tanah predikan, dengan syarat bahwa para Adipati
itu setiap tahun harus menyerahkan Upeti berupa bunga.
Bahwa Adipati Raden Tambranegara juga hadir dalam Pisuanan agung di Majapahit
itu terdapat juga dalam Kitab Babad Pati, yang disusun oleh K. M. Sosrosumarto
dan S. Dibyasudira, diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, 1980. Halaman 34, Pupuh Dandanggula pada: 12 yang
lengkapnya berbunyi: ……………………………… Tambranegara Pati “Sumewo” maring Majalengka
Brawijaya kedua, Majalengka adalah Majapahit…………………………..
“……… Kratonnya ing satanah jawi angalih Majapahit, ingkang jumeneng Ratu
Brawijaya ingkang kaping kalih, Ya Jaka pekik nama, Raden Tambranegara Sumewa
maring, Kraton Majalengka ……….”
Bardasarkan hal tersebut, jelaslah bahwa Raden Tambranegara Adipati Pati turut
serta hadir dalam Pisowanan agung di Majapahit.
Menurut tradisi budaya pertanian (Kultur Agraris) kelompok masyarakat atau
perorangan jika mengadakan kerja besar misalnya, melaksanakan pernikahan
putranya, khitanan, mendirikan rumah, merehab rumah, atau pindahan ke lain
tempat, selau mengusahakan tanggal yang baik. Dengan tujuan agar sesuatunya
dapat berjalan dengan lancar, baik, selamat serta mendatangkan rejeki.
Hari dan tanggal yang baik itu jika sesuai musim panen padi yang jatuh pada
bulan Juli atau Agustus pada tiap tahunnya. Kalau pisowanan agung yang dihadiri
oleh Raden Tambranegara ke Majapahit pada tanggal 13 Desember 1323, maka
diperkirakan bahwa pindahnya Kadipaten Pesantenan dari Desa Kemiri ke Desa
Kaborongan dan menjadi Kabupaten Pati itu diperkirakan pada bulan Juli dan
Agustus 1323.
Ada tiga tanggal yang baik pada bulan Juli dan Agustus 1323 itu yaitu: 3 Juli,
7 Agustus, dan 14 Agustus 1323.
Seminar Hari Jadi Kabupaten Pati yang diselenggarakan oleh Bapak Bupati KDH Tk.
II Pati pada tanggal 28 September 1993 di Pendopo Kabupaten Pati yang dihadiri
oleh para perwakilan lapisan masyarakat Kabupaten Pati, para guru sejarah SLTA
se Kabupaten Pati, Konsultan Dosen Fakultas Sastra dan Sejarah Undip Semarang,
secara musyawarah dan sepakat memutuskan bahwa tanggal 7 Agustus 1323 sebagai
hari kepindahan Kadipaten Pesantenan di Desa Kemiri ke Desa Kaborongan menjadi
Kabupaten Pati, menjadi momentum HARI JADI KABUPATEN PATI. Dengan surya
sengkala “KRIDANE PANEMBAH GEBYARING BUMI”, yang bermakna “Dengan bekerja keras
dan penuh do’a kita gali Bumi Pati untuk meningkatkan kesejahteraan lahiriah
dan batiniah”.
Tanggal 7 Agustus 1323 sebagai HARI JADI KABUPATEN PATI telah ditetapkan dalam
Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Pati Nomor: 2/1994 tanggal 31 Mei
1994.
(Sbr: Situs Kement. Dlm. Neg. RI)